Chapter 9
Juni 2014
06:30 WIB
Juni 2014
06:30 WIB
TEMAN YANG HILANG
Saya benci keramaian. Bahkan sempet divonis phobia sama keramaian. Trauma soalnya pas kecil pernah ketinggalan di pasar, dan baru dijemput jam 4 sore. Kadang mikir,
“Bapak Ibu itu sadar gak sih kalau punya anak??”
Abisnya butuh waktu ber jam-jam buat sadar kalau anaknya hilang. Tapi Saya termasuk anak yang nurut sama orang tua, kecuali di saat-saat tertentu barulah saya jadi anak yang pemberontak. Seperti sekarang ini!! Setelah semua terapi phobia yang saya jalani, dan sedikit demi sedikit ada perkembangan, pagi ini saya malah disuruh Ibu, “KE PASAR”
“Ibu itu sadar gak sih kalau anaknya takut”
Anyway usia sudah 23 Tahun, meskipun jomblo, itu bukan alasan saya harus manja. Banyak yang bilang, anak pertama hatinya harus setangguh baja, bahunya harus sekuat karang………….
Ngomong-ngomong bahu, saya jadi ingat Pak jawi si bungkuk. Di antara keenam anaknya, yang mana yang sulung dan yang mana yang bungsu ya?? Ini sudah beberapa bulan saya gak ketemu salah satu dari mereka. Saya pernah beberapa kali melihat pak jawi belanja ke toko Mbak Rid, dan diluar dugaan Reaksi mereka melayani Pak Jawi bak melayani Pak kiyai. Santun, halus dan penuh hormat. Benar kata pak Edi, Pak Jawi sangat disegani warga disini. Tapi perlakuan mereka terhadap anak-anaknya sangat bertolak belakang.
Damn! Membayangkan anak-anak pak jawi, membuat perasaan saya campur aduk antara kasihan dan takut. Sampai-sampai kaki saya geli, seperti ada yang menggerayangi dan
“Cak… cak….. uooon cak”
Anjaaaaay!!! Jantung saya seperti mau koprol, Mijon yang baru saya minum setengah juga kebanting gara-gara anak kecil ini narik-narik celana saya yang lagi duduk di motor. Tapi saya cepet-cepet kalem, soalnya nih anak malah ikutan kaget ngelihat saya kaget.
“Kenapa dek??”
Tanya saya halus
“Uoon cak”
Dalam bahasa Indonesia berarti “Minta mas”. Saya langsung meraba saku nyari recehan, tapi mungkin emang rejekinya nih anak ya, yang ada di saku Cuma lima ribuan. Sempet terpikir buat minta kembalian tapi saya gak sepelit itu.
Sebelum ngasih uang, saya perhatiin anak perempuan ini kisaran umur 10 tahun cukup bersih untuk ukuran pengemis. Iseng-iseng saya nyuruh dia buat buka masker yang dipakenya, tanpa banyak nanya dia pun nurut
“Pilek elongga gule cak” (Pilek hidungku mas)
Saya merasa lega, bukan karena dia pilek tapi karena mulutnya gak miring ke kiri. Abis saya kasih uang dia cabut pergi. Gak sampai jarak satu meter, dia narik-narik celana bapak-bapak yang ada di depan saya. Bapak-bapak yang lagi nungguin istrinya belanja itu duduk di motor sambil jagain anaknya yang lagi ngemil. Anaknya gendut, rambutnya poni, dan pas saya lihat bagian mulutnya saya lega, soalnya yang belepotan di mulutnya itu es krim, bukan iler.
Bahkan di tengah keramaian gini pun saya masih parno kalau ngelihat anak kecil. Jam sudah menunjukkan pukul 07:15 tapi belum ada tanda-tanda Ibu saya keluar dari pasar. Gelisah pun menghampiri karena perut lapar nan perih. Celingak-celinguk sana-sini berharap ada makanan, tapi yang saya dapat adalah sebuah penampakan.
Apa yang saya lihat kali ini bukan lagi hanya bayangan anak pak jawi, tapi benar-benar seseorang yang sudah sejak lama saya tunggu kabarnya tapi dia malah hilang.
“Bro”
Sugik melihat ke arah saya sambil masih memegang ikan.
“Woy kamu bro!!! Apa kabar?? Lama gak kelihatan bro”
Ada jeda beberapa detik sebelum sugik memulai aktik sok bronya. Saya tahu dia kaget melihat saya. Dan saya tahu ada yang dia sembunyiin. Sementara dia ngoceh sok asik, saya memperhatikan kondisi kakinya yang secara ajaib sembuh. Yaa ini memang sudah lebih satu bulan sejak dia kecelakaan, tapi sayalah yang mengantarnya ke dokter, dan saya masih ingat dokter bilang sugik gak akan sembuh dalam waktu dekat, kalaupun harus bekerja dia harus pakai tongkat. Tapi tangannya gak megang apapun selain Ikan.
“Udah sehat sob??”
Tanya saya basa dan basi. Sugik menggoyang-goyangkan kakinya seolah pamer kalau dia punya kaki baru.
“Syukurlah kalau gitu sob, ya udah lanjutin kerjanya dulu! Saya gak mau ganggu, soalnya kamu kan sudah jadi orang sibuk”
Saya sangat ahli soal sarkasme dan sindiran, dan semua teman saya tahu itu, termasuk sugik. Dia gak bisa pura-pura lupa kalau sudah mengabaikan SMS dan telepon saya, bahkan saat saya dan teman-teman Band datang buat jenguk dia, dia malah nyuruh adiknya buat bilang kalau dia lagi di Rumah sakit, Kampret.
Akhirnya si sugik pamit sama temen-temennya yang juga kerja di gudang ikan, terus ngajak saya duduk di luar. Dia minta maaf sama saya, meskipun dia gak mau ngaku salahnya apa. Tapi mungkin karena sudah kepalang tanggung, akhirnya dia buka mulut.
“Aku ke rumah Pak Jawi sob”
Sugik bilang gitu sambil maen-maenin jarinya seperti anak kecil yang lagi takut. Saya harus tetap bersikap tenang, biar temen saya bebas dan leluasa ngomong, ga ada yang dia sembunyiin lagi.
Sugik cerita kalau salah seorang saudaranya ngajak dia ke rumah tabib yang katanya bisa nyembuhin banyak penyakit. Merasa depresi karena kakinya yang lumpuh, sugik iyain aja ajakan saudaranya itu.
Sampai di rumah tabibnya sugik Cuma dipijat sebentar, terus disuruh minum jamu yang pahitnya minta ampun. Sampe – sampe dia praktekin tuh ekspresinya waktu minum jamu itu. Dan pas sugik mau pamit pulang, dia ngelihat si tinggi keluar dari rumah tabib itu, barulah dia sadar sedang ada di rumah siapa dia sekarang. Tapi sugik diem aja, dia gak bisa bayangin gimana kalau pak tabib itu tahu, kalau dia yang sudah nendang salah satu anaknya. Belum lagi ekspresinya si tinggi pas ngelihat sugik, ngingetin dia sama kejadian malam itu. Dan ya! Tabib itu gak lain dan gak bukan adalah “Pak Jawi”.
Bangun pagi keesokan harinya, kakinya gak sengaja nginjak Obat nyamuk spontan sugik teriak kesakitan sekaligus senang, soalnya kakinya sembuh.
“Jamu???”
Tanya saya sambil ngebayangin jamu yang sering di minum sama Ibu.
“Iya jamu, hijau, gelap, pahit, bau teruuus”
Saya menyela omongan sugik soalnya saya sudah tahu jamu yang dia maksud.
“Udah-udah, saya tahu jamunya seperti apa. Sekarang, karena kamu sudah mau terbuka sama saya, saya mau nanya sesuatu sama kamu.
Saya harap kamu jawab dengan jujur, sama jujurnya seperti barusan”
Sugik ngelihat saya dengan tatapan takut, khawatir tapi pasrah. Dan Bener, sugik jawab semua pertanyaan saya tanpa terkecuali, dan entah kenapa meskipun saya sudah dapat jawaban dari salah satu hal yang mengganggu pikiran saya, jawaban itu justru menimbulkan pertanyaan baru
“Siapa sebenarnya anak-anak Pak Jawi??”
Chapter 10
Juni 2014
14:30 WIB
Situbondo, Jawa Timur
PENGAKUAN SI MABOK
Ternyata memang gak bisa. Sudah kurang lebih dua bulan saya memalingkan diri dari hal-hal yang berbau Pak Jawi. Sebanyak apapun cerita warga yang saya dengar, saya berusaha menahan diri untuk tidak penasaran dan mencari tahu tentang mereka lagi. Tapi pertemuan saya dengan sugik tadi seperti mengobarkan rasa penasaran yang sudah lama saya pendam, bahkan kali ini berkobar lebih besar.
Masih jelas saya ingat, waktu 20 menit yang saya habiskan mondar-mandir di pinggir jalan, tengah malam setelah kecelakaan sugik di depan rumah. Waktu itu saya terlalu fokus mencari jejak dari si pincang yang secara tidak masuk akal tiba-tiba muncul di tengah jalan. Dari saking fokusnya saya sampai melupakan hal lain yang sebenarnya lebih gak masuk akal.
Katakanlah sugik banting setir menghindari si pincang yang ada di tengah jalan, entah sugik gak lihat karena mabok atau si pincang yang tiba-tiba nongol, apapun itu kenapa harus ada pecahan kaca spion, serpihan sayap ban motor dan puing-puing bagian motornya yang lain di tengah jalan?
Posisi motor pasca kecelakaan itu berada di dekat si pincang, yang berarti jauh dari sugik yang nyemplung ke parit (saya seringkali ketawa kalau ingat dia yang nyungsep di parit). Selain itu, saya juga gak melihat ada bekas goresan di aspal, kalau memang sugik dan motornya nyosor sampai ke parit.
Dari semua itu saya Cuma bisa menyimpulkan kalau sugik menabrak si pincak sampai mental ke parit. Keliatan dari bagian depan motor maticnya yang peot, seperti habis tabrakan keras banget.
“Peot ? Nabrak Apa? Si Pincang?? Anak Umur 6 Tahunan yang ditendang orang mabok aja melayang?”
Saya berada dekat dengan si pincang saat berusaha menenangkan sugik, tapi si pincang justru sehat wal afiat. Bekas peot seperti itu kalau nabrak manusia, 100 persen manusianya juga peot, bisa juga berdarah. Tapi saya gak lihat ada darah sedikitpun di badan si pincang.
Semua itu masih menghantui pikiran saya, sejak kecil tumbuh dengan komik detektif membuat saya sering berlebihan memikirkan sebuah hal yang sedikit tidak masuk akal. Tapi saya sudah cukup dewasa untuk tahu, bahwa masalah ini bukan lagi sedikit tapi sangat tidak masuk akal.
Tapi setidaknya sugik sudah menjelaskan kejadian sebenarnya sama saya, dan benar dugaan saya!
SUGIK TIDAK PERNAH MENGHINDARI APAPUN, DIA MENABRAKNYA
Flashback ke Pasar
Chapter 11
Juni 2014
07:00 WIB
Situbondo, Jawa TImur
HITAM BERMATA MERAH
Nabrak??? Si pincang???”
Tanya saya dengan sedikit gemetar, gak bisa bayangin anak sekecil itu ditabrak motor. Tapi tangan sugik lebih gemetar dari pada suara saya, saya bisa lihat wajah ketakukannya saat dia berkata
“Bukan! Bukan si pincang, tapi …….. Lembu”
Whaaaat???? Saya semakin bergetar, tapi kali ini karena menahan tawa. Bagaimana mungkin saya bisa anggap serius omongan sugik, orang mabok, ngantuk yang nabrak sapi, tengah malam, di tengah jalan??? Saya pasti gila kalau percaya sama nih badut.
“Kamu boleh tertawa sob, boleh gak percaya. Soalnya aku sendiri gak percaya sama apa yang aku lihat. Aku memang dalam kondisi mabok, tapi aku masih ingat dengan jelas. Seekor lembu hitam dengan mata yang merah dan tanduknya yang putih, tiba-tiba melintas di tengah jalan. Aku gak nutut mau ngerem, kulitnya yang hitam samar-samar di gelap malam, baru keliatan jelas pas udah sejengkal sama motor. Aku gak ingat apa-apa tahu-tahu sudah ada di parit sob. Pas aku lihat ke tengah jalan, bukannya lembu tapi malah anak kecil. Disitu aku berusaha nyadarin diri sendiri, kalau tadi aku lagi mabok.
Saya kenal sahabat saya ini sudah lama, dia memang short temper, sering bertingkah bodoh, tapi dia jujur. Saya hanya coba menenangkan sugik dengan meyakinkan dia kalau lembu itu Cuma hayalan, bisa jadi dia nabrak batu dan batu itu mental juga entah kemana arahnya.
Tapi itu semua hanya buat nenangin sugik, sementara pikiran saya sendiri masih was-was karena selain kaca spion dan puing-puing motor, di sebelah si pincang waktu itu juga ada beberapa
“Tai Sapi alias BULLSH*T”
Balik lagi ke rumah saya
Chapter 12
Juni 2014
15:00
Situbondo, Jawa Timur
KESEMPATAN
“Tok-tok tok tok”
Suara pintu digedor itu membuyarkan lamunan saya tentang tai sapi. Saya buka pintu kamar, ternyata ibu saya. Beliau minta di pesenin jamu lagi ke rumah pak jawi. Tapi kali ini ada yang beda dengan cara beliau nyuruh saya
“Nak, kamu mau gak Ibu suruh ke rumah pak jawi buat pesen jamu?? Kalau gak, ibu nyuruh farah saja”
Tumben Ibu nyuruh pakai kata-kata “Mau gak??” mungkin beliau sudah ngerti gimana stressnya saya gara-gara keluarga pak jawi. Tapi entah kenapa saya ngerasa ini adalah kesempatan bagus untuk pergi ke rumah pak jawi, dan melihat lebih dekat lagi gimana dia dan anak-anaknya. Lagian saya gak mungkin biarin Farah, adik perempuan saya yang masih SMP pergi ke tempat itu.
Tangan saya gemeteran, saya gak tahu ini rasa takut atau rasa gak sabar.
Chapter 13
Juni 2014
17:00
Situbondo, Jawa Timur
KURSI YANG PATAH
Tidak ada yang berubah dari kakek-kakek yang sedang duduk di depan saya ini, dia masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Pak Jawi bercerita basa-basi tentang masa mudanya yang katanya sih mantan mariner (Pffff). Selagi dia cerita panjang lebar, saya manfaatkan hal ini untuk curi-curi pandang ke sekeliling halaman rumahnya.
Ada enam pohon mangga, jumlah yang pas dengan anak-anak Pak Jawi, sengaja ditanam enam, atau gimana saya juga gak tahu. Disetiap pohon ada ayunan, saya pernah melihat si juling maen di salah satu ayunannya. Ada juga obor yang kalau malam di nyalain. Gak banyak yang bisa saya lihat di halaman rumahnya, jadi saya periksa terasnya. Kursi plastik yang dia duduki salah satu kakinya pernah patah, ada bekas solasi dan lakban disitu. Tapi semua masih dalam batas normal, hanya ada satu benda yang menarik perhatian saya, yaitu sebuah FOTO!
Ada beberapa foto terpajang dengan figura di ruang tamu pak jawi, beberapa diantaranya adalah foto anak kecil, sisanya hanya pemandangan doank, gak ada orang ataupun benda apapun. Agak jauh letak foto itu jadi saya gak bisa pastiin itu foto siapa, yang jelas itu foto anak kecil.
“Nak????”
Terlalu fokusnya saya memperhatikan foto sampai saya gak sadar kalau pak jawi sudah selesai ngomong.
Akhirnya saya gak punya alasan lagi buat lama-lama disini, tapi gak apa-apa nanti malam saya akan kesini lagi buat jemput jamu, dan pastinya ketemu anak-anak pak jawi.
“Jamunya bisa dijemput besok pagi ya nak”
Whaat??? Saya gak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan heran saya. Tumben, kemarin aja malam langsung jadi, kenapa sekarang enggak??? Atau mungkin dia gak mau saya ketemu sama anak-anaknya lagi.
Anyway gak apa-apa saya gak bisa maksa, akhirnya saya pamit salaman. Pak jawi berusaha bangun dari tempat duduknya dan
“Ops!!”
Beliau hampir saja jatuh, soalnya itu kursi patah lagi pas dibagian solasi sama lakbannya. Tapi bukan itu masalahnya, yang ngebuat saya ngerasa gak nyaman adalah pak jawinya. Saya semakin penasaran dengan bungkuknya pak jawi ini setelah barusan secara spontan memapah badannya, dan ternyata
“PAK JAWI JAUH LEBIH BERAT DARI PERKIRAAN SAYA”
“PAK JAWI JAUH LEBIH BERAT DARI PERKIRAAN SAYA”
Komentar
Posting Komentar